
blog yang berisikan berbagai ilmu pengetahuan dan hiburan yang bisa menambah wawasan bagi pembaca........dengan ini diharapkan para pembaca atau blogger yang mengikuti perkembangan dunia cyber bisa saling menginformasikan kemajuan dan perkembangan dunia cyber terutama dalam telhnologi dan informasi....selamat menikmati
Selasa, 20 Desember 2011
bacaan orang sunda
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazalseperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknyavazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda kalah dan gugur. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Demikianlah sebagian kidung Sundayana, sebuah kisah yang heroik dan mengharukan. Dalam kisah sejarah ini yang terkenal dengan nama Perang Bubat, terjadi peperangan yang dahsyat dan mati-matian antara kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda.
Bukan sekedar peperangan biasa, tapi lebih dari itu peperangan antara misi dan ideologi.
Patih Gajahmada yang mempunyai misi besar mempersatukan Nusantara, mempunyai idelogi kuat untuk menjadikan Nusantara dalam satu wilayah yang berdaulat di bawah panji-panji Majapahit, mempunyai kesulitan dalam menaklukkan Sunda, hanya satu jalan strategi jitu yang ditempuh Gajahmada dengan siasat perkawinan untuk menundukkan kerajaan Sunda, sehingga bisa dipersatukan dalam wilayah Nusantara.
Sementara Kerajaan Sunda dengan segenap Kshatriya-nya, me

Sebuah peperangan ideologi, Tentara Majapahit dengan semangat Sumpah Palapa untuk mempersatukan Nusantara dengan Keshatriya Sunda yang membela harga diri dan kehormatannya.
Ideologi adalah mahal harganya, tidak bisa dibeli dengan dunia, bahkan nyawa pun akan menjadi taruhan. Kshatriya Sunda walau menyadari bahwa mereka berada di daerah lawan, tentu saja pasti akan kalah, tetapi mereka pantang menyerah dan terhina, mereka lebih memilih mati dalam kehormatan, mati sebagai satria.
Lapangan Bubat pun menjadi saksi mengalirnya darah mereka, menjadi saksi peperangan ideologi antara dua kerajaan.
Membaca kisah ini seakan ada suatu nilai yang telah hilang dari diri kita, betapa sifat kepahlawanan, jiwa ksatria, pantang menyerah, tidak takut mati dalam keyakinan seakan telah menghilang dari jiwa masyarakat Indonesia.,
Andai para satria Sunda adalah orang pengecut dan takut mati serta cinta dunia, mungkin mereka akan memilih berdamai dan menerima kekalahan tersebut, tetapi mereka lebih memilih kematian sebagai jalan mereka, pedang mereka hunus, seribu senjata mereka keluarkan demi membela kehormatan dan harga diri mereka.
- yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sĕmbah, sira sang nataputri.
- Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahĕn tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang rajaputri.
- Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.
Alihbahasa:
- [...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri.
- Maka ini terdengar oleh Sri Raja <Sunda> dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!”
- “Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).
Kepahlawanan mereka pun menjadi bukti yang dibayar mahal oleh kerajaan Majapahit, tentara Majapahit pun semakin membuktikan jiwa ksatria mereka, dan membuktikan pantas mereka sulit ditaklukkan, sementara daerah-daerah lain di Nusantara telah tunduk di bawah kaki Majapahit.
Jiwa ksatria dan pantang menyerah serta dihina adalah nuansa perwujudan akan eksistensi harga diri dan kehormatan yang harus dijunjung tinggi, walau semua itu harus dibayar dengan dunia dan darah serta air mata.
Andai jiwa-jiwa ksatria ini terlahir dalam anak-anak bangsa sekarang ini, barangkali Indonesia aka segera bangkit dari berbagai penyakit kronis yang diderita. Membaca kisah kepahlawanan para pendahulu menjadi cermin sejarah yang seakan menampar muka kita semua, bahwa diri kita memang sangat jauh di bandingkan mereka para Kshatriya Sunda.
Tindakan Harakiri Massal dari Puteri-puteri Sunda
Di ujung kidung Sundayana terselip suatu kisah yang sangat mengharukan, ketika sang puteri jelita Dyah Pitaloka, permaisuri raja Sunda, dan para isteri perwira Sunda, melakukan harakiri bunuh diri massal di dekat jenazah Kshatra Sunda.
- Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
- Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
- Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
- Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
- Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.
Alihbahasa:
- Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
- Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
- Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin <hamba> masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
- Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
- Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
Gugurlah sang puteri jelita bersama puteri-puteri Sunda isteri para satria, dalam tindakan harakiri massal di depan jenazah pahlawan yang gugur.
Walau tindakan bunuh diri adalah dosa besar dalam agama Islam, tetapi kita mencoba meraba sisi lain dari kisah mengharukan nan heroik yang dilakukan puteri-puteri Sunda. Betapa mereka telah menunjukkan kesetiaan dan rasa perjuangan yang luar biasa kepada para suaminya. Seakan mereka tidak rela diri mereka ikut terhina, mereka pun lebih memilih mati untuk mempertahankan harga diri dan kemuliaan mereka.
Ketika sang raja Sunda memerintahkan isteri dan puterinya untuk kembali ke Sunda sebelum peperangan terjadi, mereka pun menolak dan bersikeras akan tetap mendamping suami dan ayahnya, suatu sikap kesetiaan yang luar biasa ditunjukkan oleh permaisuri. Kesetiaan seorang isteri, jiwa yang tegar yang siap mendampingi suami dalam situasi tersulit pun.
Sang puteri yang jelita, andai sayang dengan kecantikan wajahnya, andai dia lebih memilih merawat kecantikan wajahnya niscaya dia akan takut melakukan harakiri dan menyerah kepada lawan. Tapi bagi dia kehormatan lebih mulia dari kecantikannya.
Membaca kisah harakiri massal dari puteri-puteri Sunda seakan menunjukkan bahwa semangat harakiri dan bushido dari Jepang pun kalah oleh mereka, selama ini kita kadang terkagum dengan semangat bushido dan harakiri dari prajurit Jepang, tetapi kisah harakiri dari puteri sunda tersebut terasa lebih mengharukan dan mengesankan.
Walau tindakan harakiri tidak dibenarkan dalam agama Islam, tetapi kisah heroik dan kesetiaan dan menjunjung tinggi kehormatan adalah sesuatu yang spektakuler dari puteri-puteri Sunda.
Diri kita pun semakin merasa malu dengan kisah-kisah kshatria dan kesetiaan dari Prajurit Sunda dan isteri-isteri mereka, betapa dari cermin sejarah mereka seakan mengajari anak cucu mereka ratusan tahun sesudah mereka tentang arti kehormatan dan kemuliaan serta jiwa kshatria.
Dunia dan darah pun siap tertumpah dan terkorbankan demi membela keyakinan dan kebenaran yang mereka pegang teguh...
Andai para penerus bangsa, dan rakyat Indonesia seperti mereka para kshatriya Sunda dan puteri mereka, bisa jadi bangsa ini akan segera bangkit dari keterpurukannya..
Kemanakah waktu emas itu akan bergulir, dan kemanakah para petinggi bangsa ini, apakah mereka sanggup mencontoh kisah kepahlawanan dan jiwa emas mereka?
Walau tindakan bunuh diri adalah dosa besar dalam agama Islam, tetapi kita mencoba meraba sisi lain dari kisah mengharukan nan heroik yang dilakukan puteri-puteri Sunda. Betapa mereka telah menunjukkan kesetiaan dan rasa perjuangan yang luar biasa kepada para suaminya. Seakan mereka tidak rela diri mereka ikut terhina, mereka pun lebih memilih mati untuk mempertahankan harga diri dan kemuliaan mereka.
Ketika sang raja Sunda memerintahkan isteri dan puterinya untuk kembali ke Sunda sebelum peperangan terjadi, mereka pun menolak dan bersikeras akan tetap mendamping suami dan ayahnya, suatu sikap kesetiaan yang luar biasa ditunjukkan oleh permaisuri. Kesetiaan seorang isteri, jiwa yang tegar yang siap mendampingi suami dalam situasi tersulit pun.
Sang puteri yang jelita, andai sayang dengan kecantikan wajahnya, andai dia lebih memilih merawat kecantikan wajahnya niscaya dia akan takut melakukan harakiri dan menyerah kepada lawan. Tapi bagi dia kehormatan lebih mulia dari kecantikannya.
Membaca kisah harakiri massal dari puteri-puteri Sunda seakan menunjukkan bahwa semangat harakiri dan bushido dari Jepang pun kalah oleh mereka, selama ini kita kadang terkagum dengan semangat bushido dan harakiri dari prajurit Jepang, tetapi kisah harakiri dari puteri sunda tersebut terasa lebih mengharukan dan mengesankan.
Walau tindakan harakiri tidak dibenarkan dalam agama Islam, tetapi kisah heroik dan kesetiaan dan menjunjung tinggi kehormatan adalah sesuatu yang spektakuler dari puteri-puteri Sunda.
Diri kita pun semakin merasa malu dengan kisah-kisah kshatria dan kesetiaan dari Prajurit Sunda dan isteri-isteri mereka, betapa dari cermin sejarah mereka seakan mengajari anak cucu mereka ratusan tahun sesudah mereka tentang arti kehormatan dan kemuliaan serta jiwa kshatria.
Dunia dan darah pun siap tertumpah dan terkorbankan demi membela keyakinan dan kebenaran yang mereka pegang teguh...
Andai para penerus bangsa, dan rakyat Indonesia seperti mereka para kshatriya Sunda dan puteri mereka, bisa jadi bangsa ini akan segera bangkit dari keterpurukannya..
Kemanakah waktu emas itu akan bergulir, dan kemanakah para petinggi bangsa ini, apakah mereka sanggup mencontoh kisah kepahlawanan dan jiwa emas mereka?
Jumat, 16 Desember 2011
Langganan:
Postingan (Atom)